Thursday, December 1, 2011

Mata Perengek


Sudah lama sekali aku tidak berada di tempat seperti desa yang saat ini aku tengah berada. Tidak ada jalan raya padat kendaraan, halaman rumah penuh tanah kosong terbuka, jalan berkerikil, tidak ada supermarket, apalagi mall. Terlihat jelas bekas hujan yang membuat tanah becek dan mobil kami berkali-kali tergoyang-goyang. “Nah, kita sudah sampai,” kata sopir mobil kami. Kami semua turun dari mobil. Jalanan becek berlumpur dan genangan air hujan cokelat langsung menyambut kita. Dalam sekejap sepatu kami semua penuh dengan warna cokelat.

“Wah, maaf. Ya, begini ini kondisi desa kami kalau musim hujan. Harap maklum,” ketua desa menyambut kedatangan kami.

“Ah, tidak apa-apa,” jawab Pak Eko.

Setelah beristirahat sejenak, kami betemu dengan beberapa warga setempat di balai desa. Kami hendak memberikan bantuan atas korban bencana banjir di desa itu sebagai perwakilan dari perusahaan kami. Di sana ada beberapa warga berkumpul, dan beberapa anak kecil yang bermain di dalamnya karena di luar mulai gerimis lagi. Mereka semua sangat bersemangat berlarian, terutama anak yang memakai baju yang seperti bajuku waktu aku dulu masih kecil.

Baju itu terlalu mirip dengan yang kupunya dulu. Bajuku saat aku berumur tujuh tahun. Bahkan warna biru pudar dan tulisan “POWER” di belakang baju itu mau tidak mau membawa kenangan lama kembali ke ingatanku. Aku mendekati anak itu yang sekarang sedang memegang tangan salah satu temannya.

“Dik.”

Aku memanggilnya. Kemudian dia menoleh padaku.
Benar sekali, aku ingat betul. Aku melihat dengan jelas bekas guntingan kecil di kerah baju itu yang kubuat dulu waktu kecil saat aku jengkel. Waktu itu aku meminta untuk dibelikan mainan yang saat itu mungkin harganya tidak bisa dibeli ayahku, satu set mainan kereta api beserta rel dan gerbongnya. Aku terus memaksa dengan rengekan anak kecil. Saat itu ayahku baru pulang dari kerjanya. Namun ayah tetap tidak menggubris permintaanku, letih terlihat di raut wajahnya. Lalu aku meminta baju baru sebagai gantinya, tapi ayah malah membentakku. Ibu yang sedang menyeterika dan merapikan tumpukan baju seluruh penghuni rumah mencoba menenangkanku. Perkataannya entah mengapa tidak memberi pengaruh dalam pikiran anak kecil seumurku waktu itu. Akhirnya aku mengambil salah satu bajuku sendiri dan gunting yang tergeletak di meja.

“Namanya siapa, dik?” dia tidak menjawabku. Dia malah lari menuju teman-temannya.
Baju itu diberikan ayah padaku untuk hadiah ulang tahunku. Padahal berbulan-bulan sebelumnya mereka berdua, ayah dan ibuku, sudah memberiku janji akan memberiku apapun yang aku minta sebagai hadiah jika ulang tahunku tiba. Saat itu keluarga kami masih terlihat bahagia, tidak ada raut kesusahan di hari-hari yang berlalu, hingga beberapa hari sebelum ulang tahunku aku menemukan mainan mahal yang aku inginkan sebagai hadiah. Ayah bersikeras memaksaku untuk memilih mainan yang lainnya setelah dia melihat harganya, tapi aku tetap tidak memandang mainan lainnya.
Ayah terus membujukku, "Mainan yang lain aja ya nak, ini, ini juga bagus."
"Nggak mau, aku maunya yang itu."
Sempat membuat kegaduhan, seorang anak kecil merengek di toko mainan. Aku sangat membenci ayah pada waktu itu. Hingga akhirnya ayah berjanji untuk membelikan aku sebuah baju. Baju yang sekarang dikenakan anak kecil bermata hitam bulat besar di depanku.
Terlihat bekas guntingan kecil pada kain baju di bagian kerah depan yang sekarang semakin terbuka lebih lebar dari yang pernah kuingat, tapi tidak terlalu terlihat jika tidak diperhatikan dengan baik.

Meskipun begitu baju itu masih tetap aku kenakan. Baju itu aku kenakan saat bermain bersama teman sepermainan kecilku yang kini menjadi pendamping hidupku. Bahkan aku kenakan saat terakhir kali aku bertemu dengan ayahku. Saat sore hari, aku sedang menonton televisi. Telepon di rumah kami berbunyi, ibu mengangkatnya. Menit berikutnya ibuku terburu-buru mengajakku ke rumah sakit, katanya ayah kritis. Saat itu aku belum tahu kritis maksudnya apa.

Sesampainya di rumah sakit, di sana aku melihat dari sela pintu yang sedikit terbuka ayahku terbaring di atas kasur dikelilingi beberapa orang berpenutup wajah putih, setelah sesaat ibu berbicara dengan dokter, dia memintaku untuk menunggu di luar bersama pamanku. Berkali-kali paman memeluk dan mengelus-elus kepalaku. Beberapa saat kemudian ibu keluar dengan mata yang merah dan tiba-tiba memelukku dengan erat. Dua hari kemudian ayah dikuburkan, banyak sekali orang berdatangan ke rumah.
Baju itu kusumbangkan kepada korban bencana tanah longsor beberapa tahun yang lalu bersama pakaian bekas lainnya dan beberapa makanan. Namun tidak kusangka aku akan melihatnya lagi yang kini sedang dikenakan oleh seorang bocah yang aku tidak kenal.

Seperti aku tidak ingat akan hari-hari yang telah lalu, aku menjalani hari-hariku selama ini dengan perjuangan. Seakan hari yang lalu telah tiada, seperti mereka yang telah tiada pula.

No comments:

Post a Comment