Saturday, December 3, 2011

Nosaku ~ Hujan

"Fin, mau kemana?" Cindy buru-buru memanggilku dari ujung tangga.
"Mau beli sabun," jawabku dari anak tangga paling bawah.
"Tolong sekalian beliin obat diare ya buat Lisa. Dia lagi sakit perut, aku udah tanya tante katanya dia nggak ada obat juga, ya, kasihan dia."
"Oh, iya, iya. Ntar kubelikan."
"Makasih, buruan ya."
Meskipun di luar langit malam gelap, namun awan berat menggumpal terlihat menutupi sinar bulan. Kilatan-kilatan cahaya dari balik awan sesekali muncul. Udara dingin menusuk kulit di balik kemejaku.
"Eh, tunggu Fin," terdengar suara Tita berlari keluar menghampiriku di luar pagar.
"Tolong dong sekalian titip fotokopi kertas ini," wajahnya memaparkan senyum khasnya. Dia menyerahkan beberapa lembar kertas padaku.
"Semuanya satu kali aja ya, makasih fin."
Kemudian aku berjalan untuk beli sabun, obat, dan memfotokopi.

Setelah selesai kulakukan semua, saat perjalanan pulang mulailah turun hujan. Air mulai membasahi jalan disertai gemuruh halilintar. Aku berlari mencari tempat berteduh sambil melindungi kertas fotokopi titipan Tita dengan tubuhku.

Aku berteduh di depan sebuah rumah. Kulihat kertas fotokopi Tita terpercik air sedikit, aku bersihkan dengan lengan bajuku. Hujan langsung turun sangat deras mengguyur. Obat ini harus cepat aku berikan pada Lisa, kasihan pasti dia sedang menungguku. Tapi hujan gini, gimana dengan kertas fotokopi ini? Kalau aku terobos hujan ini meskipun aku masukkan ke dalam celanaku akan tetap basah. Hujan mulai sangat deras seperti air yang ditumpahkan dari ember dan nampak sepertinya tidak akan berhenti dalam waktu dekat.
Aku merasakan kehadiran seseorang dari dalam rumah yang aku pakai berteduh. Seorang perempuan keluar dengan membawa segerombol kunci di tangannya. Dia memakai piyama berwarna pink lembut, dia menyadari keberadaanku di depan rumahnya yang sedang berteduh. Dia menghentikan langkahnya, sedikit terkejut. Lalu ekspresi wajahnya berubah dalam sedetik.
"Kehujanan ya?"
"Iya, saya numpang ngiyup di sini boleh ya."
"Jangan," jawabannya mengejutkanku. Aku hendak menjelaskan tapi dia langsung menambahkan, "masuk aja ke dalem."
Sebenarnya aku mau menolak, tapi daripada berdiri sampai hujan reda yang nggak tau pasti kapan datangnya, aku menerima tawarannya, walaupun aku tau ini sudah sekitar jam 9. Dia membukakan pagar, aku masuk lalu dia mengunci pagarnya.

Aku duduk di sofa ruang tamu yang hangat. Tak lama kemudian dia datang membawa handuk kering. Aku mengucapkan terima kasih. Meskipun tidak terlalu basah kehujanan aku mengelap rambutku seadanya. Setelah beberapa hening berdua saja di ruang tamu aku membuka pembicaraan.
"Kok sepi di rumah, pada kemana?" aku memulai basa-basi.
"Mama papa lagi keluar kota, aku sendirian di rumah untuk dua hari ini."
Pantas saja dia tadi mau mengunci pagar, tapi mengapa dia tetap menguncinya meskipun ada aku.
"Nggak apa-apa di rumah sendirian?"
"Nggak apa-apa, kan sekarang udah nggak sendiri."
Berada serumah hanya berdua dengan perempuan membuatku merasa tidak nyaman.
"Oh iya, ada payung yang bisa dipinjam nggak? Aku keburu2 soalnya. Ntar aku kembalikan lagi."
Dia terdiam sejenak, kemudian berkata dengan ragu, "Ng, kayaknya nggak ada deh."
Dia terus memandangiku seakan mempertimbangkan sesuatu.
"Udah tunggu aja sampai hujannya reda."
"Waduh, bukan gitu. Hujannya kayaknya bakal lama."
"Iya ya."
Aku melihat keluar jendela, hujan tidak menunjukkan tanda akan berhenti, bahkan semakin deras.
"Oiya, baju kamu pasti basah. Aku ambilkan ganti dulu ya."
"Nggak, nggak usah. Baju saya nggak terlalu basah kok."
"Udah, ntar masuk angin lo."
Dia menghilang ke dalam. Padahal bajuku tidak terlalu basah. Beberapa saat kemudian dia datang membawa lipatan pakaian.
"Ini ganti dulu, biar nggak kedinginan."
"Nggak usah, nggak usah repot-repot."
Meskipun aku berkali-kali menolak, tapi dia tetap memaksa. Akhirnya aku menyerah.
aku mengambil lipatan kain dari tangannya, setelah itu dia hanya berdiri diam. Seharusnya sekarang adalah saat dimana dia mengantarku untuk berganti pakaian.
"Emm, dimana saya bisa ganti?"
Dia melihat sekeliling dan berkata, "ya disini juga boleh," tanpa nada bersalah.
Yang benar saja, menelanjangi diriku sendiri di depan seorang perempuan tidak akan kulakukan kecuali dia mengancam untuk membunuhku.
Aku berusaha bersikap sopan dan berkata, "Maaf, bisa di ruangan yang lebih pribadi, yang tertutup gitu."
"Oh, silakan. Ikuti aku!" Dia mengisyaratkanku untuk mengikutinya. Aku mengikutinya hingga ke sebuah kamar yang sangat bernuansa perempuan.
Dia masuk ke kamar menyusulku dan menutup pintunya. "Kamu boleh ganti di sini," dia membalikkan badannya ke arahku dan diam berdiri. Dia tidak meninggalkan kamar, mungkinkah dia ingin melihat aku menelanjangi diriku sendiri.
"Dan kamu ngapain di sini?"
Dia mengangkat alis.
"Ini kamarku, ya terserah aku dong mau ngapain."
"Tapi," aku mencoba untuk mengendalikan diri, "bisakah kamu menunggu di luar selagi aku ganti pakaian?"
"Aku disini, mengawasimu supaya kamu nggak berbuat yang aneh2."
Disini yang berbuat aneh2 itu kamu. Dia menyilangkan lengannya dan mata tajamnya terus mengawasiku. Rambutnya yang panjang bergelombang sangat tenang tak tertiup angin apapun. Suara hujan deras di luar masih terdengar.
"Dengar ya mbak..."
"Selly"
"Mbak Selly, saya sangat menghargai bantuan mbak mau kasih saya tempat berteduh, tapi saya nggak mengharapkan sesuatu di luar kewajaran sejauh pikiran saya bisa menerima hal yang saya anggap wajar. Tapi ini..."
"Sssssstt," ucapanku dipotong oleh Selly. Dia perlahan mendekat kepadaku. Matanya tak berkedip menatap padaku selagi dia mendekat. Saat kami semakin dekat, dan semakin dekat, dan saat dia dan aku sudah cukup dekat, tiba-tiba dia mencubit kedua pipiku dengan kedua tangannya. Bibirku jadi melar karenanya.
"Aku cuma bercanda koooook." Selly melepaskan cubitannya dengan gemas. Pipiku sakit, aku mengusap-usapnya. "Aku cuma senang aku ada teman, sejak dari tadi aku ketakutan di sini seorang diri. Apalagi hujannya deras, aku paling takut sama petir."
Aku masih sangsi dengan perkataannya, tapi beberapa saat setelah itu terdengar bunyi halilintar mengejutkan yang sangat keras *GLARRRR* disusul suara teriakan Selly. Secara refleks dia sudah menempel padaku. Matanya terpejam ketakutan. Setelah gaungan halilintar sudah tidak terdengar lagi, baru Selly membuka matanya. Tangannya mencengkram keras baju di bagian dadaku, mukanya memerah.
"Ee, ah, iya, ternyata bajumu tidak terlalu basah."
Kami menghabiskan menit berikutnya duduk di ruang tamu lagi. Kami bercakap-cakap biasa, ternyata dia juga sebaya dengan teman-teman di rumah Tante Angelica, begitu juga aku. Kami berbincang lama sekali hingga jam menunjukkan angka sebelas. Kami berkali-kali menguap, tapi hujan belum juga berhenti.
Selly terlihat sangat mengantuk. Dia menawarkan aku untuk tidur di rumahnya hingga esok pagi tapi keadaan ini dilematis sekali.

a. memilih untuk menitipkan kertas fotokopian di rumah Selly dan berlari pulang menerobos hujan
b. memilih untuk tetap menunggu hingga hujan mulai reda
c. meminjam telepon Sally untuk menelepon rumah Tante Angelica dan minta tolong dijemput seseorang dengan membawa payung
d. memilih untuk tidur di rumah Sally

Thursday, December 1, 2011

Mata Perengek


Sudah lama sekali aku tidak berada di tempat seperti desa yang saat ini aku tengah berada. Tidak ada jalan raya padat kendaraan, halaman rumah penuh tanah kosong terbuka, jalan berkerikil, tidak ada supermarket, apalagi mall. Terlihat jelas bekas hujan yang membuat tanah becek dan mobil kami berkali-kali tergoyang-goyang. “Nah, kita sudah sampai,” kata sopir mobil kami. Kami semua turun dari mobil. Jalanan becek berlumpur dan genangan air hujan cokelat langsung menyambut kita. Dalam sekejap sepatu kami semua penuh dengan warna cokelat.

“Wah, maaf. Ya, begini ini kondisi desa kami kalau musim hujan. Harap maklum,” ketua desa menyambut kedatangan kami.

“Ah, tidak apa-apa,” jawab Pak Eko.

Setelah beristirahat sejenak, kami betemu dengan beberapa warga setempat di balai desa. Kami hendak memberikan bantuan atas korban bencana banjir di desa itu sebagai perwakilan dari perusahaan kami. Di sana ada beberapa warga berkumpul, dan beberapa anak kecil yang bermain di dalamnya karena di luar mulai gerimis lagi. Mereka semua sangat bersemangat berlarian, terutama anak yang memakai baju yang seperti bajuku waktu aku dulu masih kecil.

Baju itu terlalu mirip dengan yang kupunya dulu. Bajuku saat aku berumur tujuh tahun. Bahkan warna biru pudar dan tulisan “POWER” di belakang baju itu mau tidak mau membawa kenangan lama kembali ke ingatanku. Aku mendekati anak itu yang sekarang sedang memegang tangan salah satu temannya.

“Dik.”

Aku memanggilnya. Kemudian dia menoleh padaku.
Benar sekali, aku ingat betul. Aku melihat dengan jelas bekas guntingan kecil di kerah baju itu yang kubuat dulu waktu kecil saat aku jengkel. Waktu itu aku meminta untuk dibelikan mainan yang saat itu mungkin harganya tidak bisa dibeli ayahku, satu set mainan kereta api beserta rel dan gerbongnya. Aku terus memaksa dengan rengekan anak kecil. Saat itu ayahku baru pulang dari kerjanya. Namun ayah tetap tidak menggubris permintaanku, letih terlihat di raut wajahnya. Lalu aku meminta baju baru sebagai gantinya, tapi ayah malah membentakku. Ibu yang sedang menyeterika dan merapikan tumpukan baju seluruh penghuni rumah mencoba menenangkanku. Perkataannya entah mengapa tidak memberi pengaruh dalam pikiran anak kecil seumurku waktu itu. Akhirnya aku mengambil salah satu bajuku sendiri dan gunting yang tergeletak di meja.

“Namanya siapa, dik?” dia tidak menjawabku. Dia malah lari menuju teman-temannya.
Baju itu diberikan ayah padaku untuk hadiah ulang tahunku. Padahal berbulan-bulan sebelumnya mereka berdua, ayah dan ibuku, sudah memberiku janji akan memberiku apapun yang aku minta sebagai hadiah jika ulang tahunku tiba. Saat itu keluarga kami masih terlihat bahagia, tidak ada raut kesusahan di hari-hari yang berlalu, hingga beberapa hari sebelum ulang tahunku aku menemukan mainan mahal yang aku inginkan sebagai hadiah. Ayah bersikeras memaksaku untuk memilih mainan yang lainnya setelah dia melihat harganya, tapi aku tetap tidak memandang mainan lainnya.
Ayah terus membujukku, "Mainan yang lain aja ya nak, ini, ini juga bagus."
"Nggak mau, aku maunya yang itu."
Sempat membuat kegaduhan, seorang anak kecil merengek di toko mainan. Aku sangat membenci ayah pada waktu itu. Hingga akhirnya ayah berjanji untuk membelikan aku sebuah baju. Baju yang sekarang dikenakan anak kecil bermata hitam bulat besar di depanku.
Terlihat bekas guntingan kecil pada kain baju di bagian kerah depan yang sekarang semakin terbuka lebih lebar dari yang pernah kuingat, tapi tidak terlalu terlihat jika tidak diperhatikan dengan baik.

Meskipun begitu baju itu masih tetap aku kenakan. Baju itu aku kenakan saat bermain bersama teman sepermainan kecilku yang kini menjadi pendamping hidupku. Bahkan aku kenakan saat terakhir kali aku bertemu dengan ayahku. Saat sore hari, aku sedang menonton televisi. Telepon di rumah kami berbunyi, ibu mengangkatnya. Menit berikutnya ibuku terburu-buru mengajakku ke rumah sakit, katanya ayah kritis. Saat itu aku belum tahu kritis maksudnya apa.

Sesampainya di rumah sakit, di sana aku melihat dari sela pintu yang sedikit terbuka ayahku terbaring di atas kasur dikelilingi beberapa orang berpenutup wajah putih, setelah sesaat ibu berbicara dengan dokter, dia memintaku untuk menunggu di luar bersama pamanku. Berkali-kali paman memeluk dan mengelus-elus kepalaku. Beberapa saat kemudian ibu keluar dengan mata yang merah dan tiba-tiba memelukku dengan erat. Dua hari kemudian ayah dikuburkan, banyak sekali orang berdatangan ke rumah.
Baju itu kusumbangkan kepada korban bencana tanah longsor beberapa tahun yang lalu bersama pakaian bekas lainnya dan beberapa makanan. Namun tidak kusangka aku akan melihatnya lagi yang kini sedang dikenakan oleh seorang bocah yang aku tidak kenal.

Seperti aku tidak ingat akan hari-hari yang telah lalu, aku menjalani hari-hariku selama ini dengan perjuangan. Seakan hari yang lalu telah tiada, seperti mereka yang telah tiada pula.